Aku dan Masalah Keluargaku
Firda Rosalina

 

Drak…bunyi pintu kamarku yang kututup dengan membantingnya yang pasti dengan sangat keras. “Aauuhh…kenapa gak bisa ngerti aku sedikit sih?” teriakku sebal yang diakhiri dengan menghempaskan tubuh ke ranjang tembat tidur empukku dan segera menutup wajahku dengan bantal. Tak terasa mataku sudah mengeluarkan air bening di sudut-sudut kelopak mata yang bertanda bahwa aku sudah tidak dapat menahan kesedihan. Yah…aku menangis, menangis karena malangnya hidupku. Menangis karena tidak ada yang mengerti aku. Dan menangis atas nasib ini.
Pagi menjelang, sinar-sinar lembut matahari memancarkan sinarnya dari celah-celah jendela kamar sukses membangunkanku dari sebuah mimpi. Aku selalu berharap semalam hanya mimpi. Benar! hanya mimpi. Aku bangun dengan lemah dari ranjangku dan segera menyambar handuk untuk segera mandi. Berjalan di cermin ukuran besar yang ada dalam kamar. Di sana aku bisa melihat dengan jelas mata sembab yang menggambarkan sejuta kesedihan dan kekecewaan. Melihat sosok di cermin itu aku hanya bisa tersenyum pahit, ternyata ini bukan mimpi melainkan kenyataan yang harus aku hadapi. Setelah melihat diriku yang tak berguna ini, segera aku melanjutkan langkah gontaiku menuju kamar mandi yang terdapat dalam kamarku.
“Selesai…” gumamku setelah merapikan dasi sebagai sentuhan terakhir dan siap untuk berangkat kesekolah, berangkat ke SMA Panca Bakti. Tanpa berkata apapun ataupun menyapa kedua orangtuaku, aku langsung menyambar kunci motor di gantungan ruang tengah rumah dan segera melajukan motorku dengan sangat-sangat kencang tanpa sarapan dan pamit dulu pada dua orang yang selalu aku hormati, sayangi, namun kini mereka membuat aku kecewa dan sangat kecewa.
Dalam perjalanan aku teringat pada kejadian semalam. Malam tersuram dalam hidupku. Ingin aku melarikan diri dari dunia ini dan dari semua kenyataan hidup ini. Tapi, tetap saja aku tak bisa. Aku tidak memiliki tempat tujuan lain yang pantas untuk menampung anak putus asa sepertiku. Tetes demi tetes air bening ini mengalir dari mata sayupku hingga tak terasa aku sudah berada di depan gerbang sekolah.
Segera aku masuk dan berjalan gontai menuju kelas. Setelah sampai, aku segera menyimpan tas dan merebahkan diri di bangku tempat duduk dan menelungkupkan wajah di atas meja. Heran!! Itulah yang mungkin teman sebelah ku rasakan melihat tingkahku itu.
“Luna, Kamu kenapa? Kamu gak apa-apa kan!”
“ Tidak apa-apa.” jawab ku singkat
“Benar, kamu gak apa-apa?”
“Iya.” jawab ku dengan menampakan wajah tersenyum pada sahabatku yang cerewet itu. Aku yakin jika tidak begitu ia akan selalu bertanya karena kawatir pada ku.
“Apa kamu habis menangis?”
“Biasa..Ayah, Ibuku itu.”
“Oh…sabar ya!” ujar Rini sahabatku sambil menepuk-menepuk pundaku memberi dukungan.
Aku hanya menanggapinya dengan senyuman. Begitulah sahabatku itu,  ia tahu semua masalah-masalah yang aku hadapi selama ini karena aku memberitahukan semua permasalahan-permasalahanku. Rini adalah orang yang sangat penting bagiku, bahkan terlewat penting. Ia sangat mengerti tentang perasaanku melebihi kedua orang tuaku, khususnya Ibu.
Selama pelajaran berlangsung aku sama sekali tidak fokus dengan apa yang dijelaskan oleh guru terlebih pelajaran sekarang adalah matematika yang memang pada dasarnya sungguh membuatku gila. Pikiranku malah ada di tempat dan dalam memori yang membuatku lebih terpuruk lagi. Terngiang-ngiang dengan apa yang dikatakan kedua orang tuaku. “Lun, kami harus melakukan ini, maaf membuatmu terluka.” Ujar Ayah sedikit memohon. “Iya..Luna kamu harus mengerti dengan keadaan ini, Ibu mohon.”, Tidak..tidak.” teriakku sebagai jawaban atas apa yang mereka katakan malam itu.
Huuhhh…. kuhembuskan nafas dengan kasar mengingat itu. “Luna kamu harus kuat, tidak ada yang harus ditangisi.” lirihku menguatkan diri sendiri. Rini yang ada disebelahku hanya bisa menatap nanar kearahku. Yah… dia cukup tahu permasalahan yang aku hadapi.
Kini aku berdiri di depan pintu rumah, hanya menatap pintu itu dengan penuh keraguan. Apa aku harus langsung pulang setelah jam sekolah usai? Aku pun dengan ragu memutar kenop pintu dan segera masuk ke dalam rumah. Deg…suara teriakan itu terdengar lagi, bukan!! selalu terdengar lebih tepatnya. Kata-kata  makian apa pantas dikeluarkan dari mulut seorang guru? Dan apa pantas seorang dokter berkata seperti itu? seorang yang terpelajar tidak dapat menahan egonya untuk sekadar menjernihkan keadaan. Dulu aku cukup bangga menjadi seorang anak yang memiliki ibu seorang guru dan ayah seorang dokter. Tapi kini keadaan telah berubah. Banyak hal yang membuatku sedih,kecewa dan bahkan membuat stres. Ingin aku lari dari kenyataan hidup ini tapi apa daya aku hanya seorang gadis 16 tahun yang lemah.
Segeraku langkahkan kaki menuju kamar. Tapi aku berhenti di depan sebuah kamar yang berada tepat di sebelah kamarku. Di sana, di pintu kamar itu tergantung manis papan nama bertulis ‘bedroom Lina, jangan masuk tanpa seizinku’ lengkap dengan foto pose lucunya. Melihat hal itu aku tersenyum. “Kakak aku merindukan mu.” lirihku. “Jika kakak di sini maka Ibu dan Ayah tidak akan melakukan ini.”
Sekarang aku duduk dengan tenang di ruang keluarga rumah ini dan hanya bisa menunduk lesu sekarang. Aku yakin kedua orang tuaku sedang menatapku, entah tatapan apa itu, kasihankah?, sedihkah? atau kecewa?
“ Luna keputusan Ayah dan Ibu sudah bulat, jadi..”
“Iya Luna,jika kamu tetap tidak menyetujuinya maka itu sia-sia karena tidak ada lagi yang dapat dipertahankan dari semua ini” sambung Ayah.
Mendengar hal itu hatiku makin sakit. Benar mungkin tidak ada harapan lagi. “Baik aku menyetujuinya, maka cepatlah bercerai!” lirihku pelan dengan isakan tangis berat.
“Bukankah kalian memang selalu tidak peduli padaku? Yang kalian pedulikan selalu kak Lina. Tapi apa bisa kalian memikirlkanku sekali saja tanpa adanya kakak. Kakak sudah meninggal 1 tahun yang lalu. Itu waktu yang lama untuk kalian bisa melupakannya dan memikirkan anak kalian yang satu ini, anak yang masih hidup. Sepertinya harapan itu akan selalu sia-sia.” jelasku panjang lebar dengan air mata yang terus mengalir.
“ Luna, Ibu…”
“ Bercerailah cepat! Mungkin dengan begitu dapat menghidupkan kembali kak Lina lagi.” teriakku sambil berlari menuju kamar. Aku sekarang yakin Ayah dan Ibu kaget dengan apa yang aku katakan tadi dan juga karena teriakanku, ya itu adalah teriakan pertamaku kepada mereka berdua sejak aku dilahirkan. Itu karena aku sudah tak tahan lagi. Mengapa mereka tidak bisa merelakan kepergian kak Lina? Apa kak Lina harus selalu menjadi anak kesayangan mereka?
Sejak kecil memang kak Lina yang selalu menjadi prioritas pertama mereka. Mereka selalu memberi perhatian lebih padanya sedangkan aku mungkin hanya sekadar pengisi anak bungsu. Orang-orang selalu berpikir anak bungsu itu sangat diistimewakan dan selalu dimanja. Tapi kenyataannya selalu jauh dari semua itu. Aku merasakannya sendiri selama hidupku, aku selalu dibanding-bandingkan dengan kakakku. Mereka selalu berkata kakak adalah orang yang baik, rajin, dan tidak ada yang salah darinya. Sedangkan aku selalu menjadi yang terburuk, termalas, dan perbuatanku selalu salah dimata mereka. Meski kini kakak sudah tiada mereka masih saja selalu memujinya.
Aku teringat saat itu, mereka lebih membelanya, sedangkan aku selalu disalahakan. “Luna, kamu ini kenapa sih selalu saja mencari gara-gara?” bentak Ibu waktu itu.
“ Tidak bu, Kak Lina yang duluan.”
“Luna, kamu itu yang salah jadi cepat minta maaf sama Kakakmu!”
“Ayah.. kakak yang salah.”
“Enak saja, bukan Lina yah, bu. Luna tuh yang salah. Dia mencuri uang Lina”
“Aku tidak pernah mencuri uang itu karena memang uang itu uang Luna sendiri. Luna menyisihkan uang jajan untuk mengumpulkan uang itu.” Bantahku atas tuduhan kakakku sendiri.
“ Luna jangan banyak alasan, cepat kembalikan uang itu!” Suruh Ibu dengan marah.
“ Iya Luna, kenapa sih kamu itu selalu saja menjadi anak pembuat masalah.”
“ Tapi….” dengan sangat terpaksa aku memberikan uang itu kepada kakak padahal uang itu akan aku gunakan  untuk membeli kamera. Ya.. aku memiliki hobi, yaitu fotografi. Memotret hal-hal yang indah, tapi semua itu harus diurungkan lagi karena uang yang susah payah aku tabung sekarang ludes dalam waktu singkat. Aku hanya bisa pasrah, malas membantah lebih jauh lagi karena percuma saja jika aku makin melawan, maka makin gencarlah mereka memarahiku. Begitulah waktu itu dan masih banyak hal lain yang cukup membuatku sakit hati. Tapi aku bisa apa? Aku hanya bisa bersabar dan bersabar. Aku selalu bertanya apa dimata kedua orang tuaku benar-benar tidak ada hal yang baik tentangku.
Keluarga ini begitu harmonis awalnya mungkin bagi ayah, ibu, dan kakak saja. Tapi melihat mereka bahagia, aku juga turut bahagia. Sebelum musibah yang menimpa kakakku. Sebuah kecelakaan mobil yang merenggut nyawa kakak dalam sekejap.
Sore itu, kak Lina meminta izin untuk menggunakan mobil. Ia mau mengerjakan tugas kelompok yang diberikan dosennya. ayah dan ibu sempat tidak mengijinkan  kakak menggunakan mobil, karena memang kakak baru mendpatkan SIM kurang dari sebulan ini. Namun, setelah bujuk rayu yang dilakukan kakak mereka akhirnya mengijinkan.
Hingga malam tiba, kira-kira sekitar pukul sembilan malam. Kami mendapat telepon dari seorang entah dari siapa tapi aku bisa menebaknya mungkin dari seorang polisi yang mengatakan bahwa kakak mengalami kecelakan dan sekarang dia dilarikan ke rumah sakit. Tentu saja kabar itu mengejutkan kami sekeluarga dan kami langsung pergi ke rumah sakit yang dimaksud. Sungguh takdir berkata lain, kakak meninggal saat perjalanan ke rumah sakit.
Sejak saat itulah ayah dan ibu selalu menyalahkan satu sama lain. Mengatakan coba saja mereka tidak mengijinkan kak Lina menggunakan mobil kecelakan itu tidak akan pernah terjadi. Hari demi hari berlalu dan selalu saja pertengkaran demi pertengkaran yang aku dengar. Masalah-masalah kecil dibesar-besarkan dan mereka berdua tidak pernah ingin menghilangkan keegoisan mereka barang sekejap untuk merenungkan siapa yang salah dalam hal ini atau mungkinkah ini memang takdir, jalan hidup kakak untuk tenang di surga sana. ayah dan ibu sama sekali tidak menyadari setiap pertengkaran yang mereka lakukan pasti menyakiti hati kakak. Ia tidak akan meninggal dengan tenang karena masih ada hutang yang harus ia selesaikan di dunia ini, yaitu mendamaikan dua orang yang ia cintai.
Pertengkaran itu memuncak saat tiba-tiba saja Ayah dan Ibu mengatakan padaku bahwa rumah tangga ini tidak dapat di pertahankan lagi dalam kata lain mereka akan “Bercerai”. Aku hanya dapat menangis tidak tahu harus berbuat apa. Siapa yang bersama ku nanti, Ayah? Ibu? Entahlah yang jelas sekarang hati ku kacau. Ah.. sepertinya bukan sekadar kacau, tapi hancur. Yang jelas aku sudah mencurahkan isi hatiku, tinggal sekarang mereka sendiri yang menentukan apakah tetap bercerai atau tidak.

Tiga bulan kemudian…..

Kini semuanya hilang, hilang terbawa ombak yang ada di depanku. Sungguh hal itu membuatku seolah-olah bangkit dari kematian. Tidak ada lagi pertengkaran yang selalu terdengar. Kini hatiku  damai seperti deru lembut ombak laut yang terlihat biru dengan hari yang cerah ini. Hari yang begitu cerah seperti hatiku.
“Luna, jangan jauh-jauh nanti tenggelam.”
“Iya, hati-hati nanti ombaknya membawamu ketengah.”
“Tenang saja yah, bu aku adalah perenang yang hebat.” jawabku.
Mendengar apa yang aku katakan itu Ayah dan Ibu hanya bisa tertawa kecil karena anak mereka kini sering menyombongkan diri. Yup! Kini kami sedang berlibur dan sekarang kami berada di pantai indah seindah kehamonisan keluargaku. Terlihat disana ayah dan ibu bercengkraman dengan sangat bahagia di atas pasir putih yang luas seakan hanya mereka berdua di sana. Aku yang memainkan ombak laut ini hanya bisa tersenyum dengan pemandangan itu.
ayah dan ibu memang tidak jadi bercerai. Mereka menyadari kesalahan mereka dan bukannya bermaksud untuk mengabaikanku, hanya saja mereka terlalu terluka akan jalannya hidup ini. Selain itu, bukannya mereka tidak menyayangiku seperti dugaanku setiap waktu, hanya saja mereka telah terbiasa memberi perhatian lebih pada kakak karena memang kak Lina dari kecil sering sakit-sakitan seperti tifus, malaria, dan amandel sudah menghinggapinya dari kecil. Sedangkan aku selalu saja sehat. Dulu aku tidak menyadari itu, malah aku mementingkan keegoisanku sendiri dengan meminta perhatian lebih. Padahal kakaklah yang perlu perhatian lebih. Tapi anehnya dengan perhatian besar itu kakak selalu tak nyaman dan merasa terlalu di intimidasi, sedangkan aku memimpikan itu.
Aku ingat saat ayah dan ibu meminta maaf padaku. Meminta maaf atas keegoisan mereka dan untuk mempersatukan keluarga kecil ini lagi.
“Luna, maaf kan Ibu ya nak.”
“Ayah juga minta maaf, karena kesedihan kami dengan hilangnya kakakmu Lina membuat kami mengabaikan fakta bahwa kami tidak kehilangan segalanya, melainkan masih ada malaikat sepertimu yang diberikan Tuhan pada kami”
Mendengar itu aku hanya bisa menangis tidak menyangka dengan apa yang mereka katakan.  Tuhan maafkan aku, karena aku pernah merasa tidak mempunyai orang tua yang cukup baik untukku dan aku yakin dengan-Mu mengambil kak Lina dari sisi kami, Engkau telah memiliki rencana yang indah bagi keluargaku. Sekarang aku bisa mengangkat wajah dan berkata mereka adalah orang tuaku. Orang tua terbaik yang pernah ada di dunia ini, tentu saja hanya untukku, hanya untuk Luna Mawarni Sandrita.

 

 

Firda Rosalina, Siswa Spemutu kelas 9. Cerpen “Aku dan Masalah Keluarga” menjadi cerpen terbaik dalam lomba menulis cerpen yang diadakan sekolah.